06 Mei 2009

Ini Awal Ceritanya:

Burung pipit riang bernyanyi di balik rerimbunan pohon cengkeh, menyahuti ayam yang berkokok nyaring di belakang rumah. Bocah tetangga merengek-rengek minta uang jajan pada ibunya yang lagi bokek, sementara sang ibu asyik berceloteh di bawah tiang jemuran bersama ibu lain tetangganya, mereka beradu argumen tentang nasib tragis yang menimpa bos minyak tukang sawer di akhir film Rahasia Ilahi malam tadi. Perempuan tukang gorengan datang berteriak menawarkan dua potong bakwan seribuan, lolongannya putus asa, tersengal-sengal, seperti ingin memprotesi kenapa akhir-akhir ini iklan makanan di televisi makin gencar menentang kolestrol tinggi. Anak-anak sekolah ramai berbaris di tepi jalan, tukang ojek dan angkutan saling balas meraungkan gas. Di tengah bising suasana pagi, seorang pemuda bernama Panji masih bermimpi dalam tidurnya yang lelap, tak terganggu.

Hari ini tampaknya akan secerah kemarin. Merah sinar sang surya lembut menyorot kisi-kisi jendela, menciptakan belasan garis putih lengkap dengan debu kotoran yang berputar-putar di dalam putihnya. Sinar itu menusuk-nusuk dinding kusam kamar, cahayanya memendar ke seantero ruangan.

Suasana di kamar seluas tiga kali empat meter persegi ini tak ubahnya seperti kapal pecah. Berantakan sekali, amburadul, angkurawut. Lihat saja lantainya yang berlapis karvet kumal warna coklat itu, buku tulis kucel dan sobekan kertas bertebaran di sana-sini seperti daun-daun kering berserak di kebun pada musim gugur. Penghuninya, Panji, mengaku kertas-kertas itu adalah coretan puisi serta cerpennya, baik yang sudah jadi maupun yang baru setengah jadi. Pemuda kurus yang tak bisa lepas dari rokok itu memang punya hobi menulis, apa saja bisa ditulisnya, bahkan saat selembar daun kersen jatuh di kakinya, ia akan segera menuliskannya. Ironis, ia tak peduli kertas-kertas itu hanya akan memenuhi tong sampah di belakang rumah. Panji seorang seniman, meski amatiran.

Jika melongok ke kamarnya, penggemar Alexandre Dumas pasti akan mencak-mencak karena mendapatkan novel tebal Monte Cristo dijadikan ganjal kaki lemari. Di kamar ini juga, penggemar Kuntowijoyo pasti akan ngamuk karena buku antologi cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga seenaknya disangkut ke kastok pakaian layaknya kelalawar. Dan di sini, fans berat Andrea Hirata pasti tak kalah senewen melihat novel anyar Maryamah Karpov tersungkur di bangku jongkokan seperti bekas dilemparkan pembacanya dari luar jendela. Panji seorang seniman, tapi tidak menghargai karya seni.

Di lantai berkarvet coklat, semut-semut berpesta -pora menjilat cangkir kopi. Di sekelilingnya ada bungkus rokok Class Mild, dompet tipis Crocodille, ponsel Sony Ericsson serta batangan kapas pencolek telinga. Dipojok dekat lemari baju, turut hadir beberapa kuas kecil, gulungan kanvas serta kaleng cat. Apakah ini berarti Panji seorang pelukis? Jawabannya terpampang di dinding. Ada lukisan pemandangan gunung Ciremai di sana, lengkap dengan langit biru, awan putih, sungai berkelok-kelok, petakan sawah, gubuk nun jauh, pohon pinus serta hutan yang hijau. Itu adalah lukisan pertamanya. Maka bolehlah kita posisikan dia sebagai pelukis naturalis.

Suara-suara di luar rumah tambah kencang, merubah tidur lelapnya jadi gelisah.

Tok, tok, tok! Suara pintu kamar diketuk. Panji terbangun, pelan-pelan membuka mata. Begitu berat, ia merasa ada sekilo kotoran lengket di kelopak matanya. Kepala berdenyut, pandangan berputar-putar. Ia berusaha duduk, lalu tersentak secara tiba-tiba karena merasa dipan tempat tidurnya bergoyang hendak menumpahkan tubuhku ke lantai, yang ia sangka jurang terjal. Darahnya tak terima setiap ia bangun dengan cara tiba-tiba. Samar-samar, ia melihat dua sosok bayangan hitam dan putih menggantung di pintu. Ia menggosok mata dengan cepat. Ah, sialan, itu baju yang belum sempat dicucinya. Pemuda 25 tahun itu kembali membenamkan wajah di bantal, memejam pelan-pelan, siap kembali ke alam mimpi.

"PANJI!"

Panji sontak meloncat. Langsung menyambar pintu. Begitu pintu dibuka, jepprettt! Cambukan ikat pinggang mendarat di kakinya. Di depannya berdiri Ningsih, sang ibu, dengan wajah kesal.

"Kau bangun kesiangan terus. Ini pasti gara-gara pergaulanmu dengan si Ubay."

Panji menguap panjang. "Memangnya si Ubay kenapa, bu?"

Ningsih mengipaskan tangannya. "Ah, sudahlah, lupakan," katanya canggung. "Sekarang kau harus cepat mandi. Di depan ada bu Isyah menunggumu. Katanya ia mau pesan lukisan."

"Bu Isyah?" Panji terkesiap kaget. Untung ia cepat menyembunyikan kekagetannya dari tatapan sang ibu.

Lelaki seniman itu buru-buru menyambar handuk, lalu ngacir ke kamar mandi. Di kamar mandi ia terus memikirkan lukisan apa gerangan yang akan di pesan oleh bu Isyah? Dan apakah ada hubungannya dengan Winne, putrinya yang primadona desa itu? Yah, Winne, gadis yang dulu pernah menolak cintanya dengan kejam.

***


Pernahkah kau merasakan beban rindu yang mendentum kalbu, yang membuat dadamu sesak seumpama dililit ular kobra sebesar batang pohon kelapa, rindu yang membuat hatimu perih bagai diiris kulit bambu, rindu yang membuat batinmu merana, benakmu tertusuk, jiwamu terpenjara, sehingga setiap detik waktu berlalu terasa begitu lambat, menyiksa dan menderita? Kemanakah kau akan berlari untuk mencari pelipur, sedangkan setiap orang di sekelingmu, dengan tangan-tangan perkasanya, menjaga dan mengekangmu? Sebagian dari kamu yang perindu mungkin akan merasa hidupmu tak berarti, melayang-layang tak tentu arah, hampa. Potret-potret indah masa lalu akan berkelebatan di benakmu, menyeret air matamu.

Demikianlah apa yang dirasakan Winne semenjak orang tuanya melarangnya bertemu dengan Dias. Ia rindu pada setiap inci lelaki itu, wajah, senyum, tawa, bicara, cemberut dan diamnya. Jika mengingat hari-hari di masa lalu ketika cinta mulai bersemi, terasa ada sebongkah batu mengganjal ulu hati, sungguh menyesakkan. Winne mencoba menahan derita batin ini dengan cara memejamkan mata beberapa saat, mengukuhkan benteng ketegaran. Dan menangis, tentu saja.

Tapi pagi ini, bendungan ketegaran yang menahan dendam rindunya jebol, air matanya bahkan terasa kering. Setelah menguatkan tekad, gadis primadona desa itu menyelinap keluar kamar, meloncati pagar bagian belakang rumahnya dan berjalan tergesa-gesa menuju rumah Dias, di ujung gang Delima.

Rumah Dias tampak sepi ketika Winne memasuki halamannya yang rimbun oleh pohon belimbing. Ia takut jangan-jangan seseorang telah melapor keberadaannya di sini pada bapaknya. Tak terbayang apa yang akan terjadi nanti. Winne buru-buru mengetuk pintu. Ketukannya kencang menyaingi degup jantungnya sendiri.

Tak ada jawaban dari dalam rumah.

Winne mendorong pintu sampai terbuka setengah. Gadis bermata sendu dengan alis yang melingkar lentik itu melongokkan wajahnya ke dalam. Hup, aroma kecap manis made in Dias langsung menyergap hidungnya.

Winne memanggil lirih nama Dias. Senyap. Tak ada jawaban. Lamat-lamat terdengar suara air pancuran berkeciprat di belakang rumah. Winne menghela napas sebelum akhirnya melangkah masuk.

Ruang tengah berantakan oleh majalah-majalah edisi silam, puntung rokok berceceran di sana-sini. Siapa yang merokok? Tentu bukan Dias, karena ia tahu Dias pun benci sama asap rokok. Semua keberantakan ini adalah ulah para pemuda Pasirbambu, yang entah kenapa memilih rumah Dias sebagai base-camp kegiatan urak-urakan mereka. Winne memungut majalah-majalah usang itu, menyusunnya di atas meja. Ia bergerak mengambil sapu dan membersihkan lantai dari puntung rokok itu. Selagi menyapu, degup jantungnya terus memburu. Ia ingin segera bertemu dengan pemuda itu. Timbul keinginan untuk langsung menerabas ke belakang, tapi hati kecilnya menolak.

Selesai menyapu, ia membetulkan letak photo Dias yang tergantung miring di dinding. Ia memandangi photo itu. Betapa gagah kamu, desah Winne. Dias mengenakan jaket tebal, kepalanya dibalut kain tipis ala pendekar Wiro Sableng, menggendong ransel besar, berdiri tegak dengan tangan berlipat. Di belakang pemuda itu, lembaran awan tebal melingkupi lembah daratan berwarna hijau abu-abu. Photo ini diambil di puncak gunung Ciremai.

"Winne?!"

Panggilan itu mengejutkannya. Winne berbalik dan... ia terperangah melihat Dias yang muncul dengan hanya berbalut handuk menutupi sebagian tubuhnya. Winne berpaling cepat, tapi lagi-lagi ia melihat ke tubuh itu. Jantungnya berdebar tak menentu.

Dias menyadari kegugupan itu, ia cepat-cepat menuju pintu kamar.

"Tunggu, Ias!" cegah Winne.

"Aku pakai baju dulu."

Tapi Winne malah menggenggam pergelangan tangan Dias. Wajahnya menunduk menekuri lantai tegel.

"Sebentar saja..."

Winne menengadah. Tatapan matanya menyiratkan api kerinduan yang terlalu. Bibirnya berusaha mengulum senyum. Gerakannya kemudian adalah menarik tangan Dias ke dekapannya.

Dias merasa seakan-akan nafasnya berhenti. Gemuruh rindunya tiba-tiba dikalahkan rasa kaget yang luar biasa. Ada apa dengan Winne? Detik itu pula ia segera tahu, gadisnya ini membutuhkan pelampiasan. Yah, pelampiasan atas rindu, cinta dan cita-citanya yang tak semulus harapan. Apakah pelukan akan menolong meringankan beban itu?


Dias ingin memeluk Winne dengan pelukan erat, dengan rasa cintanya yang dalam, penuh kasih sayang, kalau perlu dengan belaian tangan di rambut, dan membiarkan air mata Winne tumpah di dadanya. Namun entah kenapa, ada sesuatu di dalam hatinya melarang hal itu. Di antara kecamuk rasa rindu, haru, senang, terluka, lamat-lamat ia mendengar ibunya berteriak marah: "ITU ZINAAA!"

Winne sontak melepas dekapan karena tiba-tiba terdengar suara Ceu Ipah (pelanggan kecap Dias) memanggil dari teras rumah. Celakanya, belumpun sempat Winne menemukan tempat untuk bersembunyi, wajah Ipah sudah nongol duluan dari balik pintu.

"Lho? Winne?" Ipah terperanjat.

***



"Kau pandai melukis, Ji?" tanya Bu Isyah ketika Panji sudah duduk dalam keadaan bersih di depannya.

"Ah, tidak terlalu pandai, bu," jawab Panji merendah. Kerendahan hati yang ia perlihatkan pada Isyah ini adalah semacam siasat memancing simpati pelanggan, utamanya kepada pelanggan bernama Isyah ini.

"Lukisannya bagus-bagus lho Bu, mirip aslinya. Teman-temannya banyak yang minta dilukis, tapi kadang ia cuma dibayar sebungkus rokok. Bagaimana mau jadi pelukis kaya kalau honornya saja bahkan tak cukup buat beli sekaleng cat?" sela bi Ningsih yang muncul dari arah dapur membawa nampan dengan tiga cangkir teh yang masih ngebul.

Panji diam saja.

Isyah hanya tersenyum, tampaknya ia tidak khawatir berapa saja upahnya pasti ada, yang penting Panji bersedia memenuhi pesanannya.

"Memangnya siapa yang mau dilukis, Bu?" tanya Ningsih kemudian.

Isyah mengeluarkan secarik photo close-up dari dompet besarnya kemudian disodorkan pada Panji. "Ini saja, photo-nya Winne."

Degh, jantung Panji seperti ditonjok sampai mau copot mendengar ucapan Bu Isyah barusan. Tangannya agak gemetar ketika menerima photo Winne itu. Beruntung kali ini pun ia cepat tanggap mengendalikan perasaannya hingga tidak membuat ibunya serta Isyah curiga.

"Cantik sekali ya, Ji" kata Ningsih setelah sekilas melirik gambar seraut wajah sendu di atas kertas photo itu.

Isyah tersenyum bangga. "Ngomong-ngomong, kalau mulai dikerjakan sekarang, kira-kira kapan selesai?" tanyanya kemudian.

"Dua tiga hari selesai. Iya kan, Ji?" ibunya yang menjawab.

"Paling lambatnya seminggu ya, bu," ujar Panji seraya memasukan photo Winne ke dalam saku kemejanya.

"Tak apa-apa deh. Lambat-lambat sajalah biar nanti hasilnya lebih rapi. Oh iya, kalau bisa hasil
lukisannya agak lebih cantik lagi dari yang di photo."

Panji serta ibunya tertawa.

"Biasanya kalau kecantikannya dilebih-lebihkan nanti malah merusak cantik aslinya lho, Bu," kata Ningsih, "Contohnya wanita yang suka berlebihan dalam berdandan. Pakai bedak satu senti bukannya ditaksir laki-laki, tapi malah ditertawain."

"Iya, benar sekali kata bibi. Contohnya itu si Jaenab, yang tiap kali berdandan gelangnya saja sampai nutupin pergelangan," timpal bu Isyah.

Nah, kalau pembicaraan sudah ke arah sana, Panji pun undur diri. Ia pergi ke kamarnya. Tak lama kemudian ia ngacir ke lapangan desa. Malah nongkrong di poskamling menonton anak-anak SD bermain bola. Photo Winne sesekali dipandangnya dengan perasaan yang berkecamuk, antara sisa-sisa rasa cintanya dengan kebencian yang meletup-letup.

Pikirannya surut ke belakang, masa 9 tahun yang lalu ketika masih di SMP. Panji remaja duduk menyendiri di taman kecil dengan buku novel Balada Si Roy kesukaannya. Lalu, tiba-tiba Winne datang dan berdiri dengan wajah galak.

"Ini, ambil kembali!" Winne menaburkan serpihan kertas ke depan Panji.

"Harusnya kau mikir dulu 100 kali sebelum menyuratiku," semprotnya, lalu pergi.

Panji memandang nanar sobekan kertas suratnya itu. Perasaanya hancur. Hatinya teriris. Kertas itu adalah surat cintanya yang pertama, yang ia pikirkan bahkan lebih dari 100 kali sebelum akhirnya ada keberanian untuk mengirìmkannya. Oh, cinta ditolak ternyata lebih sakit dari sakit gigi. Kejadian itu langsung meruntuhkan pondasi harga dirinya yang memang sudah keropos.

Sembilan tahun telah berlalu. Kecewa itu masih terasa, memenuhi kepalanya, menyuburkan keinginan untuk membalaskan kekecewaannya itu dengan segera.

Panji masih duduk di poskamling pojok sebelah barat alun-alun. Dari arah itu Panji bisa melihat jelas ke halaman rumah Winne yang berdinding tembok di sebelah utara alun-alun. Barusan, ia melihat Winne berjalan tergesa-gesa keluar dari gang Delima menuju rumahnya. Panji tahu pasti apa yang Winne temui di gang Delima. Bukan rahasia lagi. Semua orang sudah faham betul. Di ujung gang Delima itulah letaknya rumah Dias, sang kekasih.

***



"Hhhh... Itukah yang selama ini orang-tua ajarkan padamu!... Hhhhh!"

Plakkk!

"Hhhkk... Perempuan macam apa kamu menyatroni rumah lelaki tukang kecap itu? Sundal... Hhhh! Perempuan tak tahu malu!"

Plakkk!

Dua tamparan di pipi kanan dan kiri, meski tak sekeras tamparan guru BP, cukuplah itu untuk membuat jantung Winne meledak pecah seperti botol kaca yang dihempaskan ke batu karang. Serta merta Winne duduk terkulai, menelungkupkan wajahnya dengan dua tangan, tubuhnya luluh lantak digerus rasa sakit tak terperi. Bukan sakit di kedua pipi, tapi di dalam hati. Air matanya kembali ngurucud deras bagai air hujan di musim penghujan.

Wira, sang Bapak, menekan dadanya sendiri sambil berusaha mengatur napas.

"Hhhhk... Hhh!" Lelaki mantan kepala desa Pasirbambu ini mendengus berulang-ulang, tampaknya ia masih ingin bicara namun suaranya terganjal oleh luapan amarah di dada. Tangannya gemetar, menjalar ke perut dan kaki. Kalau tak melihat kilatan murka di sepasang matanya serta merah padam raut wajahnya, adegan si tua 65 tahun ini tak ubahnya seperti orang udik disuruh naik ke pentas untuk bernyanyi.

Tiba-tiba... Brukkk! Wira ambruk di kursi, napasnya megap-megap. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Winne. "Tak tahu malu... Hhhhk! Kau coreng muka Bapakmu. Hhh, Bapakmu mantan kepala desa! Tak... Hhhh... Tak tahu malu!"

Dari balik dinding pembatas ruang tamu, Tia, kakak Winne memandang cemas ke arah sang Bapak. Cepat-cepat wanita berusia kurang dari 30 tahunan itu membawa segelas air putih, lalu disodorkan ke arah Bapaknya. "Sudahlah, Pak, nggak perlu sampai marah begitu. Kasihan Winne," bujuknya lirih.

"Ibumu... Hhhh... Ibumu mana?" Wira menerima gelas itu.

Tia mengangkat bahu. Ia tak ingin Bapaknya tambah senewen kalau ia bilang terus terang ibunya sedang ada keperluan dengan Panji.

"Seharusnya dia tak usah pergi kemana-mana. Kau juga, hhhhk... Kenapa kau biarkan adikmu keluyuran di luar? Hhhh!"

Winne makin tersayat. Kali ini ia berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Lalu, tak pikir panjang lagi ia berlari.

"WINNEE! MAU KEMANA?" Tia terpekik.

Winne tak perduli. Gadis itu berlari terseok-seok menuruni teras, menghambur ke luar halaman.

***



Adji sudah merasakan lembutnya tatapan bu Tini meskipun gedung SMP tempatnya mengajar masih jauh di depan. Mungkin karena Adji berpikir bahwa guru sejarah itu masih gadis sementara ia perjaka, sehingga melihat setiap gerakannya seolah-olah mengandung arti tertentu. "Ah, masa bodoh!" gerutunya untuk kesekian kalinya. Gara-gara memikirkan Tini ia jadi kurang konsentrasi mengemudikan Honda Revo-nya.

Sekarang sang guru muda muda yang tampan itu baru sampai di muka alun-alun desa Pasirbambu, masih dua KM lagi jaraknya ke SMP Lebaksari.

Sementara itu, anak-anak SD di lapangan masih tampak bersemangat. Tedi menendang bola, sepatu lepas terlempar, sementara bola yang ditendangnya melambung ke tepi jalan, persis terbang burung yang sayapnya tertembak peluru. Bola itu hampir menampar muka Winne yang baru saja keluar halaman. Si gadis memutar langkahnya untuk menghindar, namun malapetaka yang lebih besar agaknya datang dari arah yang dipilihnya.

Cekiiit...! Suara gesekan ban di aspal
berderit menyayat. Winne terlambat meloloskan tangannya dari sabetan stang motor milik Adji. Ia terjatuh. Ia merasa semua adalah mimpi. Di matanya terbayang wajah murka sang bapak. Terakhir, sebelum gelap datang menjemput, wajah Dias hadir tersenyum di kelopak mata.

***



Dari arah poskamling, Panji kaget sekaligus takjub melihat peristiwa itu. Ia tegak berdiri, menajamkan pandangan, lalu duduk kembali dengan selembar senyum aneh tersungging di bibirnya. Ia berpikir sejenak, kemudian mencatat sebaris kalimat di balik photo Winne dengan pulpen yang senantiasa dibawanya: NGGAK BOLEH ADA CINTA BAHAGIA. Novel pertamaku.

Ketika orang-orang sibuk menolong Winne, ia malah ngeloyor pergi ke rumahnya. Semangatnya tumbuh untuk segera menyelesaikan tugasnya melukis photo gadis itu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar