06 Mei 2009

Bab 3

Akhir bulan November pertengahan musim hujan. Di saat cahaya purnama menebar di pucuk pepohonan, rumput di tengah alun-alun bergoyang dihembus angin gunung. Kerikil-kerikil kecil di jalan basah oleh gerimis yang turun sesaat sebelum sang surya tenggelam, kini berkilauan ditimpa cahaya bulan. Barisan lampu listrik 5 watt di setiap halaman rumah membantu sang bulan menerangi malam, kerlap-kerlip cahayanya di antara celah-celah daun.
Rumah Wira berdiri megah di tepi alun-alun. Halamannya luas, dikelilingi pagartembok setinggi 2 meter. Mantan kepala desa ini akan marah besar kalau kemegahan rumahnya dihubung-hubungkan dengan status lamanya sebagai bekas orang nomor satu di Pasirbambu.

Malam ini, seorang pemuda berhasil meloncati pagar tembok itu. Ia menyusup ke bagian samping rumah yang cukup gelap. Langkahnya mendap-
mendap mencurigakan. Kalau bukan hendak mencuri atau merampok. Lalu mau apa?
Pemuda berperawakan tegap itu sembunyi sejenak di bawah pohon belimbing. Merasa yakin kehadirannya tak diketahui orang, ia melangkah lagi dengan hati-hati, menuju jendela sebuah kamar. Inilah kamar Winne, putri Wira yang primadona desa. Jika saja Wira tahu kehadiran pemuda itu, ia pasti lekas angkat senjata, sebab ada kemungkinan putrinya akan dibawa minggat dari desa.

"Aku bukan jagoan di layar kaca. Aku orang biasa. Aku hidup menjalani realita. Kalau nasibku harus sial, ya sial. Tak ada skenario yang mengharuskan jalinan cintaku akan berakhir bahagia, kecuali skenario Tuhan yang sama-sekali tak kuketahui," pemuda itu membatin. Mukanya beku, cermin suasana hati yang tak bahagia.

Semua orang di Pasirbambu ini tahu tahu bahwa pemuda itu pemuda itu adalah kekasih Winne, semenjak dahulu, saat keduanya menginjak masa remaja, lima tahun yang lalu. Akan tetapi, jalinan cinta yang dirajut serius kini tergerus oleh idelisme Wira yang tak menghendaki putrinya berpendamping seorang pria sembarangan. Dias, nama pemuda itu, yang usahanya sebagai pembuat kecap, di mata Wira adalah sampah masyarakat.

"Makanya, kau jangan berprasangka bahwa aku akan nekat menculik Winne," lanjut suara batinnya.

Entah kepada siapa ia memanggil 'kau'. Barangkali ia teringat ucapanku dulu, yang menyarankan Dias mengajak Winne minggat.

"Bagaimana kau akan hidup bahagia jika kau takut memperjuangkan cita-citamu?" begitu aku pernah menasehati.

"Winne sekarang bertunangan dengan lelaki bernama Adjie, seorang pengusaha mapan dari kota. Dia tampan, lebih tampan daripada kau. Ia memiliki apa pun yang dikehendaki orang tua macam pak Wira. Apa kau kira kau sanggup menghadapi kenyataan itu, hah? Kau sanggup melihat Winne duduk bersanding di pelaminan bersama pria itu? Kau sanggup membayangkan malam pertama mereka? Kau sanggup?"

Pertanyaan yang kulontarkan bertubi-tubi itu hanya dijawab dengan helaan tapi hanya dijawab dengan helaan nafas panjang, serta kalimat ―yang menurut― sia-sia: "Dia bukan jodohku."
Pahit, getir, tak berdaya. Bahkan Dias sendiri tak menyangka, setelah mengucapkan kalimat itu ia merasa satu tonjokkan keras menghantam telak ulu hatinya.

Sampai detik ini, detik ketika ia termangu di balik jendela kamar Winne, ia masih merasakan dadanya sesak akibat tonjokkan itu.

"Kau lelaki lemah!"

Dias memejam mata.

"Lalu, malam ini apa yang kau harapkan darinya?"

"Rindu. Aku ingin bertemu dengannya. Dan mungkin untuk yang terakhir kali."

"Setelah pertemuan itu apa yang kau dapatkan?"

"Kebahagiaan."

"Sampai kapan bahagia?"Diam. Dias tak mau menjawab.

"Jangan pernah kau dustai perasaanmu sendiri! Jangan kau dengar lagu perpisahan yang merelakan kepergian kekasihnya! Kau pasrah, kau menyerah, dan kau munafik. Kau tahu, tak ada rela yang terpaksa. Keikhlasan itu tanpa beban. Jadi, lakukanlah sesuatu demi kebahagiaanmu. Bawalah Winne pergi dari desa ini. Nikahi dia, seutuhnya. Seumur hidup kau bahagia bersamanya. Bukankah itu sejatinya kebahagiaan?"

Dias mencoba membuang semua ingatannya tentang apa yang pernah kuucapkan. Ia masih mematung di tengah keremangan. Angin pegunungan bersemilir, dinginnya menusuk-nusuk. Dengan dada berdebar Dias menempelkan telinganya di kaca jendela.
Terdengar lamat-lamat suara orang mengobrol di dalam kamar. Dias memasang pendengarannya lebih kuat, tapi percuma, ia tak mendengar jelas obrolan mereka. Ia hanya bisa memastikan bahwa Winne ada di dalam kamar ditemani ibunya.

***



"Kau terlihat lima tahun lebih tua dari usiamu sebenarnya," kata Isyah, istri Wira, demi melihat wajah Winne yang selalu kusut masam. Perempuan baya itu duduk di tepian ranjang.

Winne bergeming. Ia sudah beberapa menit tegak menghadap dinding memandangi lukisan pantai. Langitnya yang biru dibubuhi tulisan indah nama lengkap Winne Larasati serta tanggal kelahirannya.

"Seminggu lagi hari pernikahanmu, Win. Harusnya kau mulai merawat diri. Jangan perlihatkan cemberutmu itu pada calon suamimu. Sering-seringlah tersenyum. Apalagi nanti akan banyak orang melihatmu. Aneh kalau ada pengantin wajahnya murung begitu!"

Winne berbalik, melangkah lesu mendekati ibunya, menjatuhkan pantatnya ke kursi. Sekilas ia melihat bayangan wajahnya sendiri di cermin. Memang, tampak lebih tua.

"Bagaimana agar aku bisa murah tersenyum, Bu?" tanyanya.

Isyah mengambil guci keramik mungil lalu mengelapnya dengan sapu tangan. "Kau harus membiasakan diri nonton Mama Mia Super Dut," jawabnya.

Winne menarik sudut bibirnya ke tepi. Begitu singkat. Isyah tak menyangka bahwa itu adalah senyuman.

"Jangan menyeringai, dong!" ia menyindir.

"Aku ingin tersenyum di depan Ibu, tapi hatiku tidak bahagia untuk tersenyum," ujar Winne sembari tertunduk.

"Kebahagiaanmu apa?" tanya Isyah.

Winne bungkam.

"Kau sudah cukup umur untuk menikah, Win. Ibu ini nikah dengan bapakmu di usia 16 tahun. Ibu senang. Ibu bahagia."

"Seandainya Ibu tidak mencintai Bapak?"

"Apa kau tak mencintai Adjie?"

Winne menggeleng.

"Tampan, sopan, kaya, dari kota. Benar kau tak mencintainya?"

Jawaban Winne masih gelengan kepala.

"Seandainya Adjie jadi bupati? Gubernur? Pejabat tinggi? Mentri? Presiden?"

"Aku akan tetap mencintai Dias, Bu!" tukas Winne, mantap.

Isyah terhenyak. Guci yang dipegangnya nyaris lepas. "Dias? Tukang kecap?"

Winne menundukkan kepala dalam-dalam. Hatinya perih mendengar ejekan sang ibu terhadap kekasihnya.

"Kau melupakan statusmu, Win. Bapakmu mantan kepala desa, dihormati, disegani. Jika kau punya suami orang mapan, itu akan menjaga martabat keluarga. Bukan seperti Dias."

"Bu, kalau kutahu jadi anak kelurga terhormat tak bebas menentukan pilihan hidupnya sendiri, tentu aku memilih dilahirkan dari keluarga biasa."

"WINNE!" Isyah terpekik. "Jangan bicara sembarangan. Bisa kualat! Kau harus lihat masa depan, Win. Mau kau hidup susah? Mau kau hidup miskin?"

"Ibu mau bilang Dias pemuda miskin?"

Isyah menghela napas. Sejurus terdiam.

"Nanti kau akan seperti Ibu, punya anak, punya cucu. Anakmu akan disekolahkan. Kalau dia pintar, pasti sekolahnya akan tinggi, seperti Adjie yang S2."

"Ibu mau bilang Dias hanya lulusan SMP?"

"WINNE!" Isyah jengkel. Ia jadi ingin membanting guci saking jengkelnya.

Winne mengerjapkan mata tak perduli.

"Win," Isyah mencoba berkata lembut, matanya berkaca-kaca. "Bapak ibumu ini hanya ingin melihat kau dan keluargamu nanti bahagia, dengan cara yang membahagiakan kami juga."

"Mungkin aku, Ibu, Bapak akan sama-sama bahagia seandainya poligami diperbolehkan untuk wanita."

"APA?" Isyah terkejut. "Apa maksudmu?"

"Aku akan menikah dengan Adjie untuk kebahagiaan Ibu, kemudian aku akan menikah lagi dengan Dias untuk kebahagiaanku."

Praaang!

Barangkali Winne hanya sekedar bergurau. Tapi akibat gurauannya, guci kesayangan Isyah terlepas dan pecah.

***



Dias terkejut mendengar bunyi pecahan tadi. Disandarkan punggungnya lebih rapat ke dinding di samping jendela. Telinga kembali dipasang. Yang terdengar kemudian adalah suara pintu ditutup kuat-kuat. Ia menarik napas lega.
Setelah menunggu beberapa detik untuk memastikan tidak ada lagi suara obrolan, Dias mengetuk pelan kaca jendela.
Kain gorden terkuak pada ketukan yang kelima. Cahaya neon di kamar Winne langsung muncrat ke wajah Dias. Pemuda itu mengerjapkan mata.

"Dias?" sapa Winne setelah kaca jendela dibuka. Ada binar di matanya. Sedetik kemudian ia berlari menuju pintu untuk menguncinya.

"Iya, Win. Ini aku. Maaf...," Dias terbata-bata setelah Winne kembali ke hadapannya.

Winne tersenyum. Barangkali hanya kepada Dias gadis itu bisa tersenyum. Manis, lagi.

Beberapa detik saling tatap saling membisu. Winne menunggu Dias meneruskan ucapannya tadi. Tapi Dias tampak gugup. Mungkin juga takut.

"Maaf atas apa, Ias?" desak Winne.

Dias mengangkat tangan. Bukan untuk meraih tangan Winne seperti yang disangka Winne sebelumnya. Dias malah membuka satu persatu jemari. Mulutnya menghitung.

"20 hari, Win, kita tak bertemu," desahnya kemudian.

Winne termangu. Ya, selama itulah ia tersiksa memendam rindu. Terhitung sejak ia resmi tunangan ―lebih tepatnya: ditunangkan― dengan Adjie.

"Kau rindu padaku?" bisik Dias lagi.

Winne mengangguk pelan. Diraihnya tangan Dias, lalu dibawa ke dekapannya.

Lagi, keduanya membisu. Ada keinginan yang sejak lama tak dipendam. Dias ingin sekali saja mencium gadis itu. Tapi, lagi-lagi perasaan malu menyergapnya.

"Aku sudah bertunangan, Ias. Kau mau lihat cincinnya?" lirih Winne tiba-tiba.

Sret!

Dias merasa sembilu tajam menusuk hatinya

"Mau lihat cincinnya?" Winne mengulang tanya. Tatapannya menyelidik.

Dias menggeleng. "Kenapa tidak kau pasang di jarimu?" tanyanya kemudian.

"Kau akan terluka jika aku memasangnya," jawab Winne.

Dias tersenyum bahagia.

"Seminggu lagi aku menikah, Ias," sambung Winne.

Sret!

Ini untuk kedua kali. Ucapan itu perih di telinga Dias. Tapi dicobanya mengulum senyum.

Melihat senyum Dias, wajah Winne berubah kecut. "Kau tidak cemburu?"

"Kalau cemburuku bisa membuatmu bahagia, aku jawab: ya, aku cemburu."

"Tapi kau tak berbuat apa-apa untuk melawan perasaan cemburumu!"

Dias tertegun. Apa maksudnya?

"Maksudku, kau terlalu banyak mengalah
pada kenyataan. Aku tak suka lelaki model begini. Aku benci lelaki macam kau!"

Sret!

"Jadi kau ingin aku membunuh calon suamimu?"

"Itu bodoh. Itu akan membuat kau mendekam 20 tahun di penjara. Kalau Adjie mati dan kau dipenjara, lalu aku untuk siapa?"

"Banyak lelaki lain yang sanggup melamarmu, Win. Sanggup dalam hal duniawi untuk memenuhi keinginan orang tuamu."

"Dan kau akan membunuhnya lagi?"

"Tak mungkin, sebab aku sudah dipenjara. Aku tak akan tahu dan tak akan perduli kau milik siapa. Aku tak akan lagi pikirkan kamu. Aku capek."

"Dias..."

"Kau sendiri selalu mengalah pada kemauan orangtuamu. Seharusnya kau tolak lamaran pria itu. Seharusnya kau katakan bahwa kau tak bisa hidup tanpaku. Kau diam saja. Kau turuti saja apa mau mereka. Kau korbankan cinta kita. Aku tak suka wanita seperti itu!"

Gelegar!

Hati Winne bagai disambar halilintar. Ia menelukupkan wajahnya dan menangis. Cukup lama. Lalu, di antara isaknya ia berkata, "Aku menangis, Ias. Tapi mereka tak mau perduli dengan tangisku."

Mau tak mau mencairlah kebekuan di wajah Dias. Pilu hatinya, terenyuh. Ia kembali meraih tangan Winne, ditarik sedikit keluar jendela.

"Lihat bulan itu!" bisik Dias sambil mendongak ke bulan.

Winne turut memandang bulan.

"Aku akan terus memandang bulan itu, nanti di rumahku. Aku akan meminta supaya ia mau turun ke bumi untuk menemaniku di kala sendiri. Kalau dia tak juga turun ke bumi, akan kupasang sayap buatan di tanganku agar aku bisa terbang memeluknya. Dan jika sayapku patah sebelum sempat aku memeluknya, berarti aku hanya bisa memandangnya saja."

Winne terkesiap saat Dias melepas genggaman tangannya. Ia melihat senyum pahit terkulum di bibir pemuda itu. Winne tak sempat berkata apa-apa lagi karena Dias sudah berbalik melangkah pergi, meninggalkannya. Tolehan terakhir dari Dias kembali menyeret air mata Winne dari sudut mata ke sudut bibirnya.

"Maafkan aku, Dias!" bisiknya pedih.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar