13 Mei 2009

Bab Dua

Halaman rumah Wira dibentengi tembok setinggi satu setengah meter, fungsinya tentu untuk membuat maling berpikir seratus kali jika ingin menyatroni rumahnya. Di balik tembok itu ada taman yang ditata sederhana. Memasuki rumahnya dari pintu gerbang, tersedia jalan ubin selebar dua meteran, sedikit berkelok menyesuaikan arah dengan pintu rumah, sebelum akhirnya jalan ubin itu mencium teras yang berlapis keramik merah muda. Batu-batu lonjong seukuran bola sepak tersusun rapi di sepanjang tepi jalan tersebut. Dari balik susunan batu, mencuat jumputan rumput panjang dan kaku, seperti jumput rambut yang tumbuh di kepala kuda.

Ada kolam ikan kecil di sebelah kiri jalan, lantai dan dindingnya tersusun dari pecahan batu yang disemen. Puluhan ekor ikan koki belang merah berenang riang di airnya yang jernih, sejernih air mata. Ikan-ikan itu bergerombol di sekitar pancuran air yang menggelontor tiada putus dari pipa kecil di atasnya. Tanah di sekeliling kolam rata ditanami rumput jepang, bersemi dijilati matahari. Tidak ada pohon, hanya sedikit bunga liar yang aku tak tahu namanya. Tanah di bagian ini, yang bersambung memanjang ke samping rumah, sengaja dibiarkan kosong, dipakai untuk tempat menjemur pakaian.

Penataan taman di bagian kanan jalan agaknya telah menyalahi aturan. Ruang ini sebenarnya lebih cocok disebut kebun daripada taman. Bunga anggrek, mawar, melati, kemboja, palm, berserak selang-seling memenuhi pelataran. Semuanya tumbuh kerdil karena jarang tersiram cahaya matahari. Seterik apa pun sang surya tak akan sanggup menembus rimbunnya pepohonan. Lihat saja , pohon belimbing, cengkeh, jambu batu, manggis, kersen, serta sebatang pohon melinjo berdiameter pelukan dua orang dewasa tumbuh di sana. Pohon-pohon itu bercabang banyak, dahannya saling merengkuh, saling memayungi, bersaing menutupi langit, tak heran kalau di bagian ini bunga sulit bersemi, bahkan rumput pun bisa sekarat sebelum merambat. Tanah ini cocok dijadikan tempat berteduh saat kemarau, tapi becek bukan main di musim hujan.

Pagi ini, Winne duduk lesu di bangku persis di depan bunga mawar yang layu. Sang primadona desa itu bersenandung pilu. Wajahnya yang cantik tampak kuyu, matanya yang lentik terlihat sayu. Ia sedang mengalami kesedihan tiada tara, ia sedang mengalami kisah cinta Siti Nurbaya. Ya, Winne sedang memendam rasa sedih karena cintanya kepada Dias telah dimentahkan oleh kedua orang tuanya.

Kamu pasti tak akan menyangka bahwa di tangan gadis berwajah duka inilah bunga bisa tumbuh bersemi meski terlindung dari sinar matahari. Sejak lama dia-lah yang setia merawat bunga-bunga ini. Kalau tidak karena bunga adalah perantara cinta keduanya, manalah mau Winne mengurusi bunga ini. Ia mungkin akan memilih mengurung seharian di kamar, sebagai protes atas keputusan ayahnya menerima begitu saja lamaran sang guru SMP bernama Adjie, laki-laki yang pernah mencederainya.

Tangkai bunga mawar di hadapannya terkulai lesu. Winne tiba-tiba menyadari statusnya sekarang sebagai tunangan Adjie.

"Kau tahu, bunga-bungaku," Winne berbisik sedih, "Aku tak pernah merasa jemu memeliharamu, menyiram, dan mencium harummu. Sejak dulu, aku masih merasa kaulah pelipur laraku. Tak lama lagi mungkin kau akan kutinggalkan. Tetaplah kau tumbuh. Jangan mati. Jangan meranggas seperti ini. Engkau adalah pertanda cintaku yang sejati."

Masa lalu, ah, lagi-lagi semerbak harum bunga mawar ini menyeret benaknya kembali ke masa lalu, masa 4 tahun yang lalu.

Malam itu sunyi, sesunyi suasana hati. Winne duduk menyendiri di bangku ini, ditemani majalah Anneka Yess pavoritnya. Ia mencoba memusatkan pikiran untuk membaca majalah itu, namun tak satu paragraf pun berhasil dicerna. Rasa sepi mencabik-cabik pikiran. Tak pernah sebelumnya ia merasakan begitu hampanya hidup, tak pernah, kecuali sejak malam itu. Ia merindukan seorang pria, tapi hati kecilnya menolak untuk merindukan pria itu.

Tahukah kamu, baik di desa maupun di lingkungan sekolahnya (saat itu ia masih SMA), Winne adalah gadis idola, idaman kaum pria. Ia dikaruniai paras jelita menyaingi jelitanya artis ibu kota. Lembut, selembut cahaya purnama. Tak heran jika beragam tipe lelaki berebut mengemis cinta. Mereka berlomba-lomba untuk menggaet Winne, yang tampan ikhlas berkorban, yang kaya rela sengsara, yang pandai jadi penghayal, dan yang keriput sampai bertekuk lutut. Namun seribu kali namun, di balik kecantikan wajahnya ternyata tersimpan hati yang beku. Padat, sepadat batu. Belum pernah ada lelaki yang berhasil mereguk cintanya, betapa pun hebatnya kedudukan si pria di mata para wanita. Inilah yang menyebabkan banyak lelaki putus asa, benci sendiri, tak berarti, sampai kepikiran bunuh diri.

Winne memang angkuh, dingin, kejam, tak punya perasaan, tak punya cinta. "Ia menolak cintaku sekejam si Ryan dalam kasus multilasi," kata Agus, seorang teman yang dulu pernah menembak gadis itu. Agus tak tahu bahwa penolakan Winne terhadap cintaku bahkan sekejam Hitler ketika membunuh ribuan Yahudi di kamp-kamp konsenstrasi.

Lalu, tiba-tiba saja, tak disangka-sangka, layaknya dongengan cinta kelas amatiran, seorang pemuda miskin lulusan SMP di desanya berhasil menebarkan benih-benih kerinduan ke dalam hati gadis itu. Begitu mudahnya si pemuda meruntuhkan keangkuhan hati Winne, hanya diawali dengan pertemuan sepele, yaitu pertemuan tak sengaja di angkutan desa.

Ceritanya, sepulang sekolah Winne menaiki angkutan jurusan Pasirbambu. Ia duduk di sebelah pria berkemeja coklat lengan panjang yang dilipat rapi, bercelana jeans murahan, belel bukan karena gaya melainkan karena keseringan dicuci. Di tangan pemuda itu tergantung plastik putih bertuliskan nama toko. Kampungan sekali. Sepanjang jalan Winne tak memperhatikan wajah pemuda itu. Jangankan memperhatikan, kepikiran pun tidak. Winne adalah tipe wanita super cuek, tak mudah mengambil perhatiannya, sekuat apa pun kau berusaha.

Memasuki daerah pedalaman, jalanan rusak berlubang-lubang seperti tanah yang tertimpa pecahan meteorit. Tak ayal, mobil pun berguncang hebat, para penumpangnya saling berdesakan. Bagi Winne yang setiap hari pulang pergi sekolah melewati jalan itu, guncangan tersebut sudah dianggapnya biasa, layaknya goyangan dangdut saja. Ia hanya cukup menekan pantat ke jok serta dua kakinya ke lantai untuk mengantisipasi lonjakan tubuhnya. Begitu pun penumpang lainnya. Tapi, pemuda kampungan yang duduk di sebelahnya sungguh tampak sengsara. Tangannya sekuat tenaga mencengkram pegangan besi di jendela, tubuhnya tegang, kaku, mendesak ke kiri ke kanan. Mau tak mau Winne merasa terganggu, tapi keukeuh ia tak mau melihat wajah pemuda itu.

Jalan aspal kembali mulus begitu mobil melewati tugu perbatasan desa Pasirbambu. Saat itulah, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba pemuda yang duduk di sebelahnya bicara. "Maaf, baru kali ini aku berpergian ke kota. Jalannya ternyata tak nyaman, ya!"

Winne merasa pernah mendengar suara itu, maka ia menoleh. Dan degh! Sontak ia terkejut. Kaget bukan main. Seujung rambut pun ia tak menyangka pemuda yang sedari tadi duduk di sampingnya adalah Dias. Winne jelas mengenal Dias, keduanya sama-sama berasal dari Pasirbambu. Bahkan dulu, semasih SMP Dias pernah menjadi teman akrab kakak laki-lakinya, Nenda, yang sekarang kuliah di Bandung. Dias sering diajak main ke rumahnya memetik buah manggis, jambu dan belimbing. Winne yang kala itu baru duduk di kelas satu suka menjerit-jerit manja agar Dias segera melempakan buah manggis ke depannya. Sejak keluar SMP, Dias tak pernah lagi datang ke rumahnya karena Nenda terlalu sibuk dengan sekolah barunya, yaitu SMA.

Winne mengangguk pelan untuk merespon ucapan Dias, lalu pandangannya kembali ke posisi semula, mencoba ambil sikap seperti tak terpengaruh. Tapi, hati kecilnya tak bisa dibohongi, diam-diam ia merindukan senyum dan tawa pemuda yang dulu pernah melemparinya dengan buah manggis itu. Maka ia menoleh untuk kedua kalinya tepat ketika Dias tersenyum.

Desh! Desh! Darahnya berdesir, jantungnya berdebar. Ajaib. Winne yang cuek, yang angkuh, sekonyong-konyong hatinya luruh melihat senyum pemuda itu, senyum yang tulus, setulus wajahnya. Teduh, seteduh pandangan matanya. Senyum Dias jauh dari kesan ingin dipuja atau hendak menguasai, tanpa pamrih, tanpa tekanan. Wajah tampannya jernih menyiratkan kejujuran. Winne berpaling. Kali ini ia gundah gulana. Ia terus memikirkan betapa bisa senyum itu merisaukan hatinya. Ia ingin menghalau pikiran tersebut, tapi semakin kuat ia menghalau, semakin terpikirkan olehnya keanggunan senyum itu. Winne belum menyadari panah asmara telah menancap di hatinya. Ia baru akan menyadarinya nanti setelah turun dari mobil.

Begitulah, Saudara-saudara. Cinta memang aneh. Ia datang tak terduga, dengan cara yang terduga pula. Dan, seumpama Izrail mencabut nyawa, cinta datang tak dapat dielakkan. Semakin kuat kau mengelak, semakin kuat cinta mencengkrammu.

Angin malam berdesir lembut, menebarkan rasa dingin di setiap penjuru. Dengan perasaan gamang Winne menutup majalah, menghela napas lalu beranjak menuju pintu rumah. Namun, langkahnya terhenti tepat di muka pintu, ketika lamat-lamat ia mendengar suara petikan gitar dari arah poskamling. Suara gitar itu berdenting sendirian di tengah gelap dan sunyi.

Orang yang memetik gitar itu memainkan intro lagu bertempo pelan penuh nuansa syahdu, seakan-akan ia tahu apa yang dirasakan Winne saat itu. Dan tak lama kemudian, terdengarlah suara vokal di sela-sela petikan gitarnya, melantunkan syair cinta. Winne terharu sekaligus senang mendengarnya. Ia mengenal suara itu, ia tahu pasti siapa orang yang bernyanyi. Orang itu tak lain adalah pemuda yang sedari tadi dirindukannya.

Indah, terasa indah...
bila kita bersama dalam alunan cinta.
Sedapat mungkin terciptakan rasa, keinginan saling memiliki.
Namun bila itu semua dapat terwujud dalam satu ikatan cinta,
tak semudah seperti yang pernah terbayang,
menyatukan perasaan kita.


Winne diam terpaku. Bait demi bait syair itu pelan-pelan merasuk jauh ke lubuk hatinya, menyentuh sampai ke dasar jiwa. Air rindu sesejuk embun memercik di kalbu, membasuh kering kerontang jiwanya.

Tetaplah menjadi bintang di langit...
Agar cinta kita akan abadi...
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini, agar menjadi saksi cinta kita, berdua...


Nyanyian itu merayap pelan di atas kerikil-kerikil basah di jalan, menyusup tembok pagar halaman, hinggap di dedaunan, lalu terbang melayang-layang bersama angin. Seluruh alam diam terpaku, mendengarkan, mengharu biru meratapi kesedihan. Serangga-serangga di atas rumput enggan berbunyi, kodok membisu di tepi kolam. Dias, sang penyanyi, berhasil membawakan lagu itu dengan ratapan pilu yang sempurna. Begitu sempurna, hingga Winne menitikkan air mata karenanya.

Winne bergerak pelan menuju pintu gerbang untuk mengintip ke arah poskamling. Suasana di sana tampak remang-remang. Satu-satunya penerangan berasal dari lampu bohlam 5 watt di langit-langitnya. Pos bertiang kayu yang sudah lama tak diacuhkan Mamang-Mamang ronda itu sudah tak berdinding, sehingga dari jauh akan terlihat sesosok pemuda bernama Dias duduk memeluk gitar di atas dipan. Posisi tubuhnya menyamping ke kanan, wajahnya lurus menghadap ke selatan, pada kegelapan kebun singkong, punggungnya bersandar ke tiang kayu, sendirian ia bernyanyi. Setelah cukup lama berpikir harus berbuat apa, akhirnya Winne menemui keputusan bulat. Ia bertekad akan menjumpai pemuda itu, pemuda yang telah 'merusak' pikirannya dengan sentuhan rindu. Maka, Ia melepaskan kunci pintu gerbang tralis rumahnya, dan menggesernya amat hati-hati supaya tak terdengar oleh orang tuanya di dalam rumah. Ia berjalan cepat menuju ke arah poskamling.

"Lagumu menyakitiku," kata Winne setelah berdiri tegak di depan Dias.

Dias terkesiap kaget. Ia langsung menghentikan permainan gitarnya. Cahaya lampu bohlam 5 watt menyiram wajahnya. Jelas, ia tampak malu dan menyesal.

"Apa judul lagu itu, Ias?" tanya Winne sembari menyembunyikan Majalah Aneka di balik pinggangnya dengan tangan kiri.

"Kasih Tak Sampai," jawab Dias setelah berhasil mengatur kembali debaran jantungnya. Ketika Winne duduk tak jauh di sebelahnya, pemuda itu lekas-lekas menurunkan posisi kakinya dari dipan. Semula ia duduk berselonjor.

"Lagunya siapa?" Winne mengerling. Cahaya remang-remang lampu yang jatuh miring ke wajahnya menimbulkan efek lukisan yang cantik.

"PADI," jawab Dias lirih. "Tadi aku bernyanyi terlalu semangat, ya? Maaf, aku tak menyangka suaraku akan sampai ke rumahmu," lanjutnya sembari melempar senyum.

Winne tertawa, "Nggak apa-apa kok. Pura-pura marah saja. Sebenarnya aku mau jujur kalau barusan aku terharu mendengar nyanyianmu," tutur Winne.

Dias menghela napas lega. Matanya bersinar bahagia.

"Kalau boleh, aku ingin kau menyanyikannya lagi sekarang," pinta Winne.

"Nggak bisa!"

"Kenapa?"

"Aku grogi. Ada kamu duduk di sebelahku."

"Jadi kau tak suka ditemani?" Winne berdiri, pura-pura mau pergi. Ia sangat berharap Dias akan mengatakan alasan kegrogiannya tanpa harus ditanya lebih dulu.

Tapi Dias malah membisu. Saat Winne menatapnya, ia tersenyum seperti biasa.

"Baiklah, aku pulang saja," Winne berbalik. Langkahnya sendat-sendat. Ada sedikit kecewa di dadanya, tapi itu tak seberapa jika dibandingkan dengan rasa bahagianya karena telah bertemu Dias. Diam-diam ia pun berharap akan mendengar panggilan Dias. Tapi ditunggu sampai ia mengunci pintu gerbang, Dias tak memanggilnya lagi. Ia juga tak mendengar pemuda itu bernyanyi. Biarlah tak mengapa. Setidaknya untuk malam ini rindunya telah terobati.

Agaknya, pertemuannya dengan Dias malam itu tak cukup sampai di situ. Ketika Winne menaiki teras, ia mendengar panggilan, ya, panggilan yang sangat ditunggu-tunggunya.

"Majalahmu ketinggalan." Dias berdiri di balik pintu gerbang, tangannya melambaikan majalah.

"Wah, aku benar-benar lupa. Jadi merepotin kamu aja," Winne tersipu malu ketika menerima majalah itu.

"Nggak apa-apa, aku malah senang, punya alasan untuk..." Dias tak melanjutkan ucapannya.

"Untuk apa?" desak Winne.

"Yah, untuk memanggilmu." Dias tertawa renyah.

"Winne, tahukah kau!" Dias berkata lagi setelah diam beberapa jenak. "Lagu yang tadi kunyanyikan itu... Ah ya, aku sengaja menyanyikan lagu itu untukmu. Aku juga sengaja mengencangkan suaraku agar kau bisa mendengarnya dari sini."

Winne tertawa lagi. Setiap kata yang meluncur dari mulut Dias, masuk ke hati, mengalir bersama darah, menjadi semacam energi yang bisa membangkitkan gairah hidup.

Winne bergegas menghampiri sebatang pohon mawar, memetik bunganya, lalu disodorkan pada Dias.

"Bunga ini untukmu," bisiknya.

Dias tak sanggup berkata apa-apa. Diterima bunga itu dengan suka-cita, dicium harumnya.

"Dias, besok siang kau mau apa?" tanya Winne.

Dias tertegun ditanyai seperti itu. Tapi akhirnya ia menjawab dengan jujur. "Aku bekerja di sawah. Mencangkul. Memang kenapa?"

"Aku akan ke sawah juga. Ingin lihat gaya mencangkulmu seperti apa?"

"Aku akan menunggumu. Janji?"

"Ya janji."



Begitulah indahnya masa lalu. Sekarang Winne meski buang dulu kenangan itu, karena seorang bocah 4 tahun berlari-lari dari arah samping rumah ke arahnya. Ia melambai-lambaikan uang lima ribu di tangannya.

"Bibi, mau antar Aldi jajan nggak, Bi?" ajak bocah bernama Aldi itu, setengah merengek. Aldi adalah keponakannya, anak kakak perempuan keduanya yang bernama Tia.

"Mau," jawab Winne.

Aldi berjingkrak senang. Ia cepat-cepat meraih tangan Winne, lalu membetotnya menuju keluar halaman.

***



Tak selamanya mendung itu kelabu, nyatanya hari ini berseri.

Mestinya Dias canggung menyanyikan lagu tersebut. Bukan karena suaranya tak sebagus Chrisye, tapi... masak pagi yang cerah begini dibilang mendung.

Agaknya Dias punya interpretasi sendiri mengenai makna lagu itu, mendung yang dimaksud bukan berarti suasana muram kayak mau hujan, melainkan suasana dalam hatinya yang mendung karena membayangkan kekasih yang sangat dicintainya hendak diambil orang. Pun, kata 'berseri', bukanlah tentang pagi yang bermentari, melainkan...

"Aku tak boleh terlihat murung, sampai suatu saat nanti orang-orang akan terkejut karena begitu mudahnya mereka mempercayai keceriaanku," batinnya.

Langkah yang gagah seperti bukan langkah seorang Dias. Bertopi ala pemain golf, ia biarkan rambutnya yang panjang sebatas bahu terurai. Di bahu itu tersampir tas rajutan kosong berukuran besar. Hari ini adalah hari Jumat, hari pasaran di Lebaksari, hari khusus untuk belanja semua keperluan produksi kecapnya. Sendiri ia melangkah menyusuri gang Delima yang padat perumahan. Senyumnya mengumbar, menarik simpati gadis-gadis yang lagi nongkrong di beranda. Seseorang dari mereka berseru: "Ias, ceria banget!"
Dias manggut.

"Sudah mengatur rencana, ya?" yang lain meledek.

"Rencana?"

"Katanya mau sehidup semati."

"Oh, tentu."

"Apa sih rencananya?"

"Nanti kau tahu sendiri."

"Wah, akan seru kayaknya nih!"

"Yo'i."

Langkah Dias berbelok ke rumah Dani, ojek pribadinya. Ia disambut senyum manis seorang gadis berseragam SMP yang sedang mengikat tali sepatu di teras rumah itu. Sempat terpikir oleh Dias akan manisnya senyum itu, seiring dengan perasaan kesalnya kenapa akhir-akhir ini Dias selalu membayangkan wajah setiap gadis yang tersenyum kepadanya seperti wajah Winne saja.

"Hai, Rani," Dias menyapa.

"Ah, kak Dias lain sekarang. Ada apa nih?" Rani menggoda.

Dias tertawa, "Memangnya aku kenapa?"

"Lebih fresh, gitu loh!"

Dias memindahkan keranjang ke bahu sebelah kanan. "Eh, Ran, mana kakakmu? Belum bangun dia?" tanyanya kemudian.

"Subuh-subuh udah kusiram pake air seember."

"Sekarang tidur lagi?"

"Dia kabur mengantar ceweknya sekolah. Mungkin sekarang dia nungguin kamu di warung Leli."

"Oh, begitu? Makasih ya!" Dias berbalik kembali ke luar halaman.

"Kak Dias!" Rani berseru.

Dias menoleh.

"Hati-hati di jalan ya!"

Dias tersenyum sembari mengangguk dengan gaya sejentel mungkin.

Sukses berjalan gagah-gagahan sepanjang gang, sekarang Dias tegak di muka alun-alun. Ia melihat Apip sedang membentangkan terpal plastik untuk jemuran kerupuknya. Dìas tersenyum geli melihat penampilan anak pengusaha kerupuk itu. Keren betul, bro. Masak menjemur kerupuk aja dia mesti pakai jeans dan kemeja?

"Ini namanya memanfaatkan pekerjaan menjemur kerupuk sambil berusaha mengambil perhatian cewek," gerentes Dias dalam hati.

Dias meneruskan langkahnya menuju warung Leli di pojok timur laut alun-alun. Di depan warung itu sudah terparkir sepeda motor milik Dani. Ia harus secepatnya sampai di sana. Karena kalau terlambat, si Dani kejam tak akan menyisakan kue serabi untuknya.

Tapi, sejenak Dias ragu. Untuk sampai ke warung Leli, ia mesti melewati pintu gerbang halaman rumah Winne. Ia teringat caci maki Wira, ayah Winne, kepadanya beberapa minggu yang lalu. Lelaki tua itu memintanya untuk tidak lagi mengganggu Winne. Dias malu jika wajahnya dilihat si tua itu, meskipun ia cuma numpang lewat saja.

"Bodoh amat!" Dias merutuki rasa malu itu. Ia kemudian mempercepat langkah, matanya lurus ke depan, terus menatap ke depan. Meskipun misalnya di kanan kirinya terbaring perempuan telanjang ia tak akan tergiur untuk mengalihkan tatapannya. Apakah Winne ada di teras melihatnya? Ah, semoga tidak. Pertemuan seperti itu tidak akan indah, malah mungkin hanya akan menyisakan luka. Diam-diam ia berharap bukanlah Winne yang duduk di teras, tapi Wira. Dias ingin si tua melihat kesibukannya pagi ini, agar ia sadar akan kekeliruan persepsinya atas diri Dias. Dias bukan pemuda sembarang pemuda. Dias kini punya usaha sendiri. Ya, ia adalah pengusaha kecap.
Dias terus berjalan segagah mungkin. Ia ingin memperlihatkan kepada dunia betapa semangatnya dia memikul tas rajut itu. Gerbang halaman rumah Wira sudah dilewatinya. Sekarang ia lega. Tapi... hanya terpaut beberapa meter lagi jaraknya warung Leli, langkahnya tersendat. Itu mata yang tadinya 40 watt, seketika meredup jadi 5 watt. Ada apa?

Rupanya ia melihat seorang gadis berbaju biru di warung itu, bersama bocah gendut yang senantiasa bergelayut di pinggangnya. Gadis itu bukan siapa-siapa baginya, tapi gadis itu adalah gadis yang pernah mencintainya sepenuh hati. Gadis itu adalah sang terkasih, sang tercinta, yang setiap detik hadir dalam benaknya, tertanam begitu dalam di sana, mengusik jiwanya, membangunkannya dikala tidur dan yang menghadirkan sejuta rasa sedih dan rindu di kala ia terjaga.

Sebenarnya sih, Dias bahagia atas pertemuan ini. Sudah beberapa minggu ia tak melihat cantiknya gadis itu. Hanya saja, Dias tak mampu mengendalikan perasaan sentimentilnya.

Suasana hati Winne tak berbeda. Gejolak rindu barangkali lebih besar dari yang dikira. Namun, entah kenapa ia malah berusaha memalingkan wajah. Malu, barangkali. Ia menunduk agak lama, padahal sebenarnya ia ingin sekali tersenyum kepada Dias.

"Win," suara Dias separuhnya tersangkut di kerongkongan. "Apa kabar?"

Winne mengangkat wajah, menatap Dias, berusaha tersenyum semanis mungkin. Ia sangat enggan untuk menjawab bahwa ia sedang baik-baik saja.

Winne tak mau kegugupan membuat
dirinya tampak bodoh, maka ia segera mengalihkan perhatiannya pada Aldi, bocah gendut keponakannya itu. Aldi belum tahu bagaimana perihnya hati teriris sembilu rindu, ia malah merengek minta pulang.

Winne berusaha menahan diri, ia tak mau meninggalkan Dias. Tapi Aldi bersikeras, menggamit dan membetot lengan bibinya. Akhirnya sang bibi menurut pulang. Ia melangkah seperti melayang-layang. Ia merasa dunia seolah gelap gulita. Ingin sekali ia menoleh lagi ke belakang, tapi ia tak sanggup menanggung akibatnya. Ia tahu, perbuatan itu hanya akan menambah beban kerinduan.

"Berjuang, Ias,"
suara itu menyadarkan Dias. Seorang pemuda tegap duduk di dalam warung sambil makan
serabi, sementara tangan kirinya sibuk mengetik sms di hp.

Dias menjulurkan
tangannya untuk mencomot serabi. "Tumben kau sisain serabi ini, Dan," ledeknya mencoba alihkan perhatian.

Dani sukses mengirim SMS. Ia berdiri dan lagi-lagi mengambil serabi. "Kau yang bayar," katanya kepada Dias.

"Berapa potong?"

Dani menaiki motornya.

"Sembilan, tambah yang ini jadi pas sepuluh."

"Masya Allah, gembul amat sih lu!" Dias mengeluarkan dompetnya.

Vremmm... motor distarter.

"Potong aja gajiku
nanti!" seru Dani.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar