13 Mei 2009

Bab Satu

Rumah berdinding tembok tanpa plester itu tidak mengalami perubahan layaknya rumah-rumah lain di gang Delima, yang berubah adalah sang penghuninya. Dahulu, Dias adalah seorang bocah ingusan yang suka merengek pada ibunya minta jajan, sekarang ia menjelma menjadi pemuda jangkung mata duitan. Sejak ibunya mati setahun yang lalu, dengan meninggalkan warisan rumah tersebut, sepetak sawah, televisi hitam putih 12 inci, serta celengan duit 20 ribu perak, Dias kena tuntut mencari sendiri pengisi perut. Menyadari kalau bekerja di sawah bisa menguras tenaga, juga gengsi akan titelnya sebagai pemuda, maka ia menjual sawah warisan itu kemudian membuka usaha kecap kecil-kecilan. Sejak itu, pemandangan di halaman rumahnya dihiasi oleh dua buah bak (drum plastik) berukuran besar yang setiap dibuka tutupnya, aroma rendaman kacang kedelai akan menyengat hidungku.

Idenya bikin kecap memang boleh diacungi jempol, soalnya usaha kecap belum pernah ada di desanya, Pasirbambu. Ia mengaku idenya ini tidak serta merta nongol di kepala, tidak juga karena dibelesakkan para lelembut penunggu pohon asem ketika ia sedang berteduh di bawah rimbunnya.

"Ide tidak datang sendiri, tapi dicari," begitu katanya, mengutip ucapan motivator dunia kepenulisan.

Sebulan sebelum sawah dijual, Dias hilir-mudik ke sana ke mari untuk mencari info-info menarik tentang dunia wirausaha. Ia dengan sabar mencari tahu usaha apakah gerangan yang cocok dilakoninya, usaha yang memiliki prospek masa-depan cerah, beraset besar, namun dengan modal, tentunya, seharga sawah yang akan dijualnya.

Percaya nggak percaya, hanya untuk mengejar inspirasi Dias pernah berangkat ke kota. Ia masuk swalayan, lalu mematung sendiri di ujung lorong, di antara rak-rak makanan, dan dengan teliti ia memperhatikan barang apa yang paling ramai dibeli konsumsen. Ia sengaja memilih jalur makanan karena usaha di sektor makananlah yang menurutnya paling murah, juga yang paling disenangi warga di desanya. Akibat tindakannya yang mencurigakan ini, satpam datang dengan wajah garang, lalu digelandang layaknya pengutil. Namun saat itu Dias merasa senang karena ia telah menemukan jawaban atas pencariannya selama ini. Ia akan membangun usaha kecap. Ya, kecap manis.

Bebas dari interogasi satpam swalayan, Dias berjalan-jalan di deretan warung kaki lima tempat mampirnya para kuli dan supir angkot. Di sana, ia melihat botol-botol kecap selalu tersedia di setiap meja dalam warung-warung tersebut. Botolnya bertengger paling gagah, di antara botol saus tomat, cuka makan, sambal, kerupuk, gorengan dan teko air minum. Semakin ramai pengunjung, semakin deras isi botol kecap terkuras, semakin sering pula si pemilik warung membeli kecap baru. Menariknya, untuk mengantisipasi borosnya penuangan kecap ke atas mangkuk, si tukang warung menyajikan botol kecapnya tanpa membuka terlebih dahulu segel tutupnya, namun hanya melubangi sedikit bagian atas tutup botol itu pakai paku. Aha, kenapa ya? Jawabannya mungkin banyak, tapi yang terpikir oleh Dias cuma dua, yaitu karena kecap paling disenangi pengunjung dan karena harga kecap mahal, jadi pemakaiannya harus diirit-irit. Hal ini semakin memantapkan pikirannya untuk segera mempelajari tetek bengek pembuatan kecap.

Puas nongkrong di muka warung-warung kaki lima, Dias membeli sebuah buku berjudul: Mengolah Bumbu Dapur Agar Terasa Lebih Lezat karya Hj. Naningtyas Kusumadewi di sebuah toko buku loak. Di dalam buku tersebut ada bab yang khusus mengupas tentang resep kecap manis. Maka, sebelum pulang ke Pasirbambu, ia menghabiskan sisa duitnya yang tak seberapa untuk berbelanja bahan-bahan yang tertera di buku itu. Dan sebagai bahan pembelajaran, ia tak lupa membeli empat bungkus kecap berlainan merk/cap yang dikemas kecil seharga Rp.500, masing-masing nama capnya adalah; cap Bangau Tanduk, cap Dua Ayam Jantan, cap Satrio dan cap Segitiga Hitam. Rencananya ia akan membandingkan kelezatan empat kecap terkenal itu.

Nah, sepulang dari kota, Dias tidak serta merta memulai pekerjaan barunya ini. Tidak, ia bukan tipe laki-laki terburu-buru. Ia memilih untuk menunaikan perintah agamanya lebih dulu, yaitu shalat maghrib, berjamaah di surau. Setelah shalat ia memanjatkan doa. Khusuk sekali. Setidaknya ada tiga doa yang rutin dipanjatkannya seusai shalat. Doa yang pertama adalah permohonan agar Tuhan menerima amal baik kedua orang-tuanya yang telah tiada. Ibunya adalah orientiasi hidupnya, pengasuh tunggal sekaligus pendidik paling berharga di dunia. Sedangkan sang Bapak meninggal ketika ia baru menginjak usia 4 tahun, terseret arus sungai Cilowa yang meluap sehabis hujan lebat. Doa yang kedua ia panjatkan untuk keselamatan dirinya sendiri, agar pikirannya tidak digerayangi oleh hawa nafsu dunia, agar Tuhan menjaga hatinya dari hasutan iblis pembawa kesesatan. Doa yang terakhir adalah doa agar Tuhan membukakan pintu hati Wira untuk menerima dirinya sebagai menantu. Tahukah kamu, sudah empat tahun lamanya Dias menjalin cinta dengan anak gadis mantan kepala desa Pasirbambu itu, namun layaknya kisah cinta Siti Nurbaya, hubungan mereka tidak mendapat restu. Memasuki doa yang ketiga ini, air matanya sering menitik tak tertahan. Lalu, akhir-akhir ini, sejak ide bikin pabrik kecap memenuhi kepalanya, doa rutinnya bertambah jadi empat. Kurang lebih doanya seperti ini: "Tuhan, lancarkanlah usaha kecapku."


Barulah, keesokan harinya Dias memulai pembuatan kecap. Ia mempraktekan apa yang tertulis di buku panduan seperti seorang bloger meng-copy bulat-bulat postingan bloger lain untuk kemudian di-paste ke blognya sendiri. Hasilnya kurang memuaskan. Rasa, aroma serta kelezatan bikinan perdananya ini kalah jauh dibanding dengan kecap-kecap bermerk aneh yang pernah dibelinya. Namun sejak itu, ia terus mencoba sedikit demi sedikit berinovasi dalam mengolah bumbu. Gagal sampai belasan kali tak membuat dirinya patah arang. Hingga tibalah saat yang paling ditunggu-tunggu: ia berhasil menemukan semacam cita rasa tersendiri ketika mencicipi olahan kecapnya yang ke 15 kali, cita rasa yang tidak akan pernah kamu temukan pada kecap-kecap bikinan pabrik lain.

Kecap manis buatan Dias berwarna hitam pekat, kental, lengket. Jika di antara kamu ada yang fasih bicara tentang ikan patin pavoritmu, silakan panggang ikanmu dan lumuri sedikit dengan kecap ini, ya, sedikit saja, niscaya hari-hari kemudian kamu akan lebih fasih bicara tentang kecapnya ketimbang ikannya. Percayalah padaku, kelezatan kecap Dias akan terus nempel di lidah sepanjang kamu belum gosok gigi. Tak heran jika kemudian banyak pemilik warung yang datang berlangganan: tukang nasi goreng, tukang sate, tukang bakso, tukang mie ayam dan tukang-tukang lainnya. Mereka mengaku, pendapatan setiap harinya meningkat sejak menggunakan kecap Dias. Hebat, sungguh hebat. Apakah ini pertanda bahwa doa Dias yang keempat akan (atau memang sudah) dikabulkan Tuhan? Lalu, bagaimana dengan doanya yang ketiga? Rasanya terlalu dini untuk menjawab ya. Tuhan pasti mendengar doa yang dipanjatkan oleh pemuda yang sudah tak beribu-bapak itu. Pasti. Soal apakah Tuhan akan mengabulkannya atau tidak, itu adalah misteri yang hanya Tuhan saja yang tahu.

Saat ini Dias baru memiliki dua pekerja tetap (bahasa formalnya disebut karyawan). Karyawan yang pertama adalah Dani. Pemuda tinggi 168 cm, tegap, tampan, keras kepala dan kalau bicara suaranya tegas berwibawa. Dani yang baru dibelikan motor oleh bapaknya diserahi tugas oleh Dias mendistribusikan kecap-kecapnya ke pelosok desa seputar kecamatan Lebaksari. Sekali jalan, Dani digaji 70 ribu rupiah, plus bensin. Ini jumlah gaji yang cukup menggiurkun dibanding gaji para pekerja lainnya di desa Pasirbambu yang rata-ratanya cuma 40 ribu sehari.

Karyawan kedua adalah Ubay, pria jelek 26 tahun berambut gimbal, berhidung besar, alis tebal, serta gaya berjalan yang agak pengkor. Pemuda malang ini bertugas di dapur, menjadi semacam asisten Dias dalam proses pembuatan kecapnya, dari mulai mengolah bumbu, merendam kedelai, ngadonan sampai menuangnya ke dalam botol. Ubay bekerja tanpa digaji layaknya karyawan lain pada umumnya. Lho? Percayalah padaku, Dias menanggung biaya makan sehari-hari keluarga Ubay. Dan percayalah padaku, kemurahan hati Dias tak berhenti sampai di situ, setiap bulannya Dias menghibahkan 30 persen penghasilannya kepada keluarga Ubay, keluarga yang hidupnya selalu katalangsara.

***



Kematian sang ibu tercinta adalah tragedi terbesar bagi Dias, tapi sebaliknya malah dianggap mujur bagi para pemuda gang Delima, termasuk diriku. Kepergiannya ke alam baka telah memberi angin kebebasan untuk menjadikan rumah Dias sebagai tempat ngumpul-ngumpul, main kartu remi dan domino (bukan judi, tanpa taruhan), mengasah otak di depan papan catur, menonton berita TVRI di layar hitam putih, membaca majalah-majalah edisi lima sampai sepuluh tahun yang lalu, berkelakar sampai terpingkal-pingkal. Semuanya tidak ada yang melarang. Kami merokok sesuka hati. Meskipun sorot mata Dias sering membersit rasa tidak setuju, tapi pemuda itu diam saja.

Rumah Dias tambah ramai di malam-malam bulan puasa. Teman-teman yang kerja atau kuliah di kota, pulang ke kampung pasti akan langsung nongkrong di rumah Dias. Tak jarang kami mengadakan buka bersama di rumah ini. Sibuk sekali. Riang gembira, dan tentu saja ikan panggang berlumur kecap menjadi hidangan utamanya. Lebih dari 40-an bujangan Pasirbambu, dari pengangguran, tukang ojek, tukang ngutil, sopir, kenek, pelajar, mahasiswa, sampai guru honorer tumplek memenuhi rumah ini. Wajar kalau ada yang sesumbar, "Siapa-siapa yang mengaku sebagai pemuda gang Pasirbambu, tapi tak pernah menginjakkan kakinya di rumah Dias. maka ia akan dianggap bukanlah pemuda Pasirbambu."

Hari ini, seperti hari-hari biasanya, aku nongkrong di rumah Dias, duduk di kursi tengah sambil menikmati isapan ClassMild. Tak jauh di depanku, Dias bekerja mengatur barisan botol-botol kecapnya di lantai. Dari arah pintu kamar belakang kudengar suara gerasak-gerusuk. Aku tak tahu apa yang sedang Ubay lakukan di sana.

Aku meraih secarik koran kucel dari atas meja, bermaksud membaca berita, namun tiba-tiba ucapan Dias membuyarkan konsentrasiku.

"Kalau dulu kutahu akan begini jadinya, mungkin aku tak akan coba-coba mendekati Winne sehabis menerima bunga kirimannya."

Sip, aku lebih senang Dias bicara soal hubungan cintanya yang dilematis dengan putri Pak Wira ketimbang bicara tentang kecap dan kecap lagi. Aku berdehem untuk merespon ucapannya tadi.

Dias selesai menjejerkan botol-botol. Sekarang ia bergerak mengambil sisir lalu merapikan rambutnya yang gondrong sebahu.

Kutaruh lagi koran di meja. Sepintas terkenang kembali masa lalu. Waktu itu, Dias dengan bangga datang padaku memperlihatkan bunga mawar hadiah dari Winne. Waktu itu aku hampir pingsan dilanda rasa cemburu.

"Sejak kuterima bunga itu, aku sudah merasa bahwa semua ini hanya mimpi. Empat tahun aku bermimpi tentang keindahan," kenang Dias. Ia memasang sepatu. "Tapi lihatlah, semua mimpi-mimpi indahku menjelma jadi mimpi buruk."

"Eh, Ias, semua ini bukan mimpi. Coba jewer telingamu, pasti sakit," aku menyela.

Dias tertawa, lalu diam.

"Kau tipe lelaki lemah," aku mulai menyerangnya sambil melonjorkan kaki ke atas meja.

"Mungkin lebih cocok kalau aku menyebutmu lelaki pengecut."

Dias terkejut. Keningnya berkerut. "Kenapa?"

Kuisap rokok dalam-dalam. "Karena kau tak berusaha untuk mempertahankan cinta," jawabku.

Dias tersenyum lemah, tapi penuh arti.

"Lelaki sejati tak perduli rintangan, bahaya, kendala atau apapun demi mempertahankan cinta. Dia punya tekad kuat, pantang menyerah. Bahkan mati pun tak jadi soal asal ia terus bertahan atas cintanya. Faham?"

Dias masih tersenyum. Wajahnya beku, namun sebeku apa pun wajahnya, tak sanggup memadamkan aura kesabaran yang terpancar di matanya. Ia berdiri, menyampirkan tas plastik besar yang kosong di bahunya. Ia masih tersenyum ketika keluar meninggalkanku. Ia pergi dengan wajah datar tanpa ekspresi. Mulutnya bergerak seolah-olah hendak bicara: "Entahlah, Ji, lelaki macam apa aku ini."

***



Dias yang kreatif, sabar, ulet, 'tak mudah menyerah' (kalimat tak mudah menyerah diberi tanda kutip karena sifatnya itu hanya berlaku pada usaha kecapnya saja. Tapi kalau berhadapan dengan persoalan cinta, ternyata ia adalah orang yang paling lembek, ia lebih memilih kalah ketimbang berjuang), tentu akan siap menghadapi tantangan masa depan di jaman yang pastinya akan semakin edan. Bagaimana dengan Ubay?

Sifat Ubay berbeda 180 derajat dengan Dias. Hiperboliknya seperti beda antara langit dan bumi. Ubay berpikiran cupet. Sejak kecil mental yang ditanamkan ke dadanya adalah mental kuli, yang harus selalu diperintah bos, atau manut di bawah telunjuk kasar para mandor. Ini pasti disebabkan karena latar belakang hidupnya yang miskin. Ubay dikhawatirkan akan soak jika di ajak merangkul masa depan. Orang seperti dia cocoknya hidup di jaman peodal, bekerja pada tuan tanah, ditodongi laras senapan kumpeni.

Terlepas dari apakah Ubay sanggup menyongsong masa depan atau tidak, mental kuli ternyata telah menggiringnya pada rupa-rupa pengalaman hidup. Soal pengalaman ini, terutama pengalaman getir, ia kawakan. Boleh dibilang Ubay sudah banyak makan pahitnya racun kehidupan. Ia pernah ikut dagang asongan di pulogadung, dalam sehari preman bisa memalaknya empat sampai lima kali. Jualan gado-gado di Monas, seminggu bangkrut, langsung dipecat bos. Alasannya karena tiap kali Ubay minta bayaran, pembeli bukan sodorkan duit, tapi tinju. Masih di tengah panas terik Jakarta, ia mencoba kerja jadi kenet bangunan. Tapi sial, gara-gara ia menumpahkan adukan semen, sang mandor langsung keluarkan surat PHK. Lho? Baru kutahu kemudian kalau Ubay menumpahkan adukan semen itu ke kepala sang mandor.

Enyah dari Jakarta, Ubay ikut kawan lain merantau ke tanah Jambi di pulau Sumatra menjadi buruh penyadap karet. Entah kenapa, mentang-mentang kerjanya di bidang karet, perutnya menjadi seperti karet. Sekilo beras ia bertanak setiap harinya, untuk makan pagi sampai petang, dan itu habis sampai sampai ke kerak-keraknya. Jam 8 malam, perutnya kembali minta diisi, maka ia bertanak lagi secanting dan dilahap habis. Mending kalau kerjanya kuat, menyadap satu bidang kebun saja (satu bidangnya rata-rata terdapat 400 batang karet) ia sendat-sendat. Otomatis, besar utang ketimbang pendapatan. Maka Ubay diusir kembali ke tanah Jawa. Mengharukan. Tapi ironisnya, tubuh Ubay yang semula besar kekar menjadi agak kurusan. Lalu, kemana larinya energi dari berkilo-kilo nasi dalam perutnya? Ubay bercerita, hawa panas di daerahnya memang membuat selera makannya meningkat luar biasa. Hanya saja, buang hajatnya sehari kadang tujuh kali.

Pulang dari Jambi, Ubay ikut pamannya berdagang kriditan di Pemalang, Jawa Tengah. Kerjanya sangat melelahkan. Setiap hari ia berjalan terseok-seok naik gunung turun gunung, dari desa ke desa, memikul barang-barang kelontongan. Kerongkongannya kering berteriak menawarkan barang. Sama seperti ketika jualan gado-gado, dagang kriditan pun sering makan hati karena ketika menagih angsuran banyak pelanggan yang tak mau bayar. Cerita paling mengharukan adalah ketika ia mendatangi seorang ibu rumah tangga yang sebulan sebelumnya pernah mengambil kuali. Belum sempat Ubay bicara, si ibu lari ke dapur, tak lama datang lagi sambil melempar kuali berpantat gosong ke hadapan Ubay. Wanita itu berteriak tak punya duit lalu membanting pintu sekerasnya. Ubay naik pitam, diinjaknya pantat kuali itu sampai jebol. Sebulan Ubay bertahan dagang kriditan, pulang-pulang ke Pasirbambu aku melihat tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang.

Warga Pasirbambu mengenal Ubay sebagai sosok tinggi hitam yang suka menyatroni kebun buah-buahan tengah malam, atau sosok kurus yang hobi buang hajat di kolam ikan sambil memasang jala, atau sosok kaki pengkor yang suka menjambret jemuran. Orang-orang nyinyir kalau mendengar namanya disebut, bahkan Wira menghina-dinanya sebagai sampah masyarakat, perusak citra warga Pasirbambu, pembuat keresahan. Sudah berulang kali ia kepergok maling, namun warga tetap setia pada anjuran Parta untuk tidak melaporkannya pada polisi. "Kalau Ubay dipenjara, kasihan dong sama orang tuanya," begitu alasan Parta.

Ubay masih memiliki Emak dan Bapak, meskipun terkadang Ubay kesal, kenapa Tuhan memanjangkan umur kedua orang-tuanya. "Semakin tua, mereka semakin merepotkan," gerutunya.
Kedua orang tua Ubay kini sudah tua renta. Emaknya memang masih tampak bugar, namun tak ada pekerjaan yang cocok dilakukannya selain mengambil kayu bakar di hutan dan menjualnya dengan harga tak seberapa. Sementara sang Bapak, sudah setahun tergolek di pembaringan menunggu ajal yang tak kunjung datang. Dua kakinya lumpuh. Bagaimana bisa Bapak Ubay berjalan, orang melihat kedua kakinya mirip batang lidi yang ditegakan.

Ubay adalah anak satu-satunya yang hidup. Dua kakak lelakinya meninggal dunia ketika ia masih kelas 6 SD, sama-sama meninggal di perusahaan tempat mereka bekerja. Kakak yang sulung kesengat setrum listrik, kakak keduanya berusaha menolong, tapi malah ikutan disengat setrum, akhirnya mereka mati bersama-sama. Masuk surga.

Ubay juga punya dua kakak perempuan, keduanya meninggal secara tidak lazim. Yang lebih tua meninggal di usia 10 tahun, setelah menelan kue apem pemberian orang kaya (konon, yang dimakan kakak Ubay itu adalah cupang). Kakak perempuan keduanya raib ditelan bumi tepat ketika bedug maghrib berbunyi. Kabar burung mengatakan, anak gadis usia 8 tahun itu diculik kalong dan dicampakkan di tengah hutan. Ini untuk menakut-nakuti kalau ada anak yang suka bolos mengaji.

Begitulah kisah tragis keluarga Ubay. Terbayangkah olehmu betapa merananya hati orang tua Ubay?

Yap, hari ini kita akan melihat kondisinya. Setelah Dias pergi, aku masuk ke kamar belakang. Terkejut lelaki itu. Rupanya kedatanganku telah membuyarkan lamunan panjangnya.

"Berpikir apa, Bay?" tanyaku sambil memungut segulung kertas karton dan spidol di kolong dipan.

Ubay menggeleng lesu. Ia memasang kepingan cermin nyaris bersentuhan dengan hidung jumbonya. Ia tersenyum beku, bayangan di cermin itu membalas tersenyum. Ia nyengir, bayangan di cermin itu...

Praaak! Gelap.

Ubay membanting sang cermin ke meja dengan posisi terbalik. Ia tersinggung melihat balasan cengirannya dari cermin itu, jelek minta ampun.

"Aku pusing mikirin hidup," kata Ubay akhirnya. Ia berdiri menghadap poster Britney Spears di dinding dan meneliti setiap jengkal tubuh di poster itu, kalau-kalau ia akan menemukan bekas kadas atau kurap di kulit artis itu. Hasilnya nihil. Merasa bosan, Ubay duduk kembali dengan lesu.

"Dipikir nggak dipikir hidupmu nggak akan berubah, Bay, kecuali kalau kau berpikir buat usaha baru," sahutku sambil terus mencoret-coreti karton.

Ubay mengaduk-aduk rambut kepalanya, pertanda pusing.

"Terima saja hidupmu apa adanya, Bay," lanjutku.

"Kalau kau jadi Ubay, apa kau nerimo?" tantang Ubay.

Aku menolehnya sesaat, lalu tertawa. "Mungkin aku akan bunuh diri," jawabku.

Ubay malah tambah senewen mendengar jawabanku.

"Iya, Bay, mungkin aku akan bunuh diri,"aku menegaskan. "Bunuh diri akan menyelesaikan semua beban hidupmu, kesengsaraanmu, kemelaratanmu, kebodohmu. Semua akan berakhir."

"Berakhir di dunia saja," potong Ubay, "Lalu di akherat aku masuk neraka. Mati konyol namanya!"

Waduh, si Ubay jadi pintar kini, pikirku.

"Hm, Bay, kalau kau takut sama yang namanya dosa, bukannya lebih kau mati sekarang saja, mumpung dosamu masih dikit. Tambah panjang usiamu, tambah banyak pula dosa-dosa yang kau lakukan, semakin semakin berat siksa yang kau terima di akhirat. Iya, kan?"

Ubay termangu. Wajahnya bingung.

"Akhirnya hidup kamu ga ada yang enak. Ya di dunia, ya di akherat, kamu terus melarat. Hahaha..."

Buk!

Ubay melempariku dengan bantal.

"Memang," aku melanjutkan bicara, "Kalau umurmu panjang berarti akan banyak kesempatan untuk tobat. Tapi, ah, imanmu itu tipis banget, setipis kulit bawang."

Ubay tak berkata lagi karena tiba-tiba Buhe masuk kamar membawa koran.

"Aku menemukan cerpenmu dimuat di koran ini,"katanya.

"Baru tahu ya?"aku kembali meneruskan pekerjaanku bikin poster di karton pakai spidol.

"Judulnya keren banget," komentar Buhe.

"Apa?" tanya Ubay.

"Bunuh Diri."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar